Peradaban Islam Yang Terlupakan: Solusi Membangun Indonesia Damai
Oleh: Dr. Hotmatua P. Harahap M. Ag
Ka. Prodi Sejarah Peradaban Islam, FIS UINSU
Medan ~ buserbhayangkaranew.com| (4/9/2025) Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan serius dalam menjaga kedamaian dan persatuan bangsa. Polarisasi politik yang semakin tajam, ketimpangan ekonomi yang melebar, kekerasan berbasis agama, serta degradasi moral yang meluas di ruang digital menunjukkan betapa rapuhnya ikatan sosial kita. Dalam situasi krisis ini, seringkali kita mencari solusi dari teori-teori modern Barat, namun justru melupakan sumber kebijaksanaan yang sesungguhnya dekat di hati: warisan peradaban Islam yang pernah berjaya di Nusantara.
Peradaban Islam bukan sekadar bagian dari catatan sejarah, melainkan sebuah sistem nilai yang pernah menjadi perekat masyarakat dalam harmoni sosial. Jejak masuknya Islam ke Indonesia menunjukkan karakter damai—melalui dakwah para ulama dan aktivitas perdagangan. Islam tidak pernah hadir sebagai alat penaklukan, melainkan melalui keteladanan, akhlak mulia, dan kebudayaan. Nilai-nilai Islam melebur dengan kearifan lokal, menghasilkan akulturasi yang harmonis antara agama, adat, dan budaya. Dari sinilah lahir masyarakat yang plural namun tetap bersatu, berlandaskan prinsip gotong royong, musyawarah, dan toleransi.
Sayangnya, dimensi peradaban Islam ini kini kerap terlupakan. Pendidikan Islam di Indonesia cenderung terfokus pada ritual ibadah semata, sementara aspek sosial, etika, dan nilai-nilai peradaban kurang mendapat perhatian yang memadai. Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam semesta. Artinya, Islam sejatinya membawa kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan, bukan sekadar sebagai identitas simbolik.
Dalam upaya membangun Indonesia yang damai, terdapat beberapa prinsip utama peradaban Islam yang sangat relevan untuk dihidupkan kembali:
Pertama, ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Islam mengajarkan bahwa seluruh manusia berasal dari satu sumber yang sama, sehingga tidak seharusnya ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, atau kelas sosial. Penerapan prinsip ini akan memperkuat pluralisme dan mempererat persatuan Indonesia.
Kedua, keadilan sosial. Ibn Khaldun (1332–1406) menegaskan dalam Muqaddimah bahwa “al-‘adlu asasu al-‘umran” — keadilan adalah fondasi utama peradaban. Tanpa keadilan, sebuah bangsa tidak dapat bertahan, meski materi mereka melimpah. Pesan ini sangat relevan untuk Indonesia yang masih bergulat dengan ketimpangan ekonomi dan praktik korupsi yang merugikan.
Ketiga, musyawarah. Al-Qur’an memerintahkan, wa amruhum syura bainahum — segala urusan hendaknya diputuskan melalui musyawarah. Konsep ini sejalan dengan gagasan Al-Farabi (872–950) tentang al-Madinah al-Fadhilah (Kota Utama), yaitu masyarakat ideal yang dipimpin oleh kebijaksanaan kolektif demi kemaslahatan bersama. Menghidupkan kembali budaya musyawarah berarti memperkuat demokrasi substansial, bukan sekadar prosedural belaka.
Keempat, akhlak mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Innama bu‘itstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Nurcholish Madjid menambahkan, “Akhlak adalah inti agama; tanpa akhlak, agama menjadi kering dan kehilangan makna sosialnya.” Krisis moral yang kita hadapi saat ini—dari korupsi hingga ujaran kebencian di media sosial—mewajibkan kita menekankan kembali Islam sebagai agama akhlak demi pembangunan karakter bangsa.
Peradaban Islam yang pernah berkembang di Nusantara membuktikan bahwa Islam tidak bertentangan dengan pluralitas, melainkan justru memberikan warna harmoni. Pesantren, surau, hingga kerajaan Islam di masa lalu adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu menjadi perekat sosial sekaligus pendorong kemajuan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.
Oleh karena itu, warisan ini harus dihidupkan kembali dalam kebijakan publik dan sistem pendidikan kita. Kurikulum sekolah perlu menegaskan Islam sebagai peradaban damai, bukan sekadar ajaran dogmatis. Para pemimpin politik harus mencontoh kesederhanaan dan kebijaksanaan kepemimpinan Islam klasik seperti yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab. Media dan tokoh agama pun harus berperan aktif menyiarkan Islam sebagai rahmat, bukan alat politik kekuasaan.
Indonesia yang damai tidak akan terbentuk melalui kekerasan atau sekadar retorika toleransi. Kedamaian membutuhkan fondasi nilai yang kokoh dan menyentuh nurani. Peradaban Islam menawarkan fondasi itu: keadilan, persaudaraan, musyawarah, dan akhlak mulia. Bila nilai-nilai ini dihidupkan kembali, Indonesia akan menjadi bangsa yang bukan hanya besar secara kuantitas, tetapi juga bermartabat di mata dunia peradaban.
Dengan demikian, kembali pada peradaban Islam bukanlah tindakan nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak. Di tengah kegaduhan politik dan krisis sosial saat ini, Indonesia memerlukan kompas moral dan etika. Peradaban Islam yang kita lupakan justru menyimpan kunci untuk membangun negeri yang damai, adil, dan sejahtera.